“Amplop Terlalu Kecil, Money Politic pun
Dilaporkan”. Begitulah salah satu judul berita di solopos.com pada jumat 12
April lalu. Berita yang menginformasikan adanya praktek kecurangan dalam
pilkades di kabupaten Klaten tersebut bukanlah sebuah berita yang menghebohkan
bagi para pembacanya. Sudah menjadi rahasia umum apabila uang turut menjadi
pelumas di hampir seluruh proses politik di Indonesia mulai dari pilkades
hingga pilpres, dari pembuatan kebijakan hingga pelaksanaan kebijakan.
Hal tersebut
sudah cukup untuk menggambarkan kepada kita bagaimana wajah demokrasi Indonesia
saat ini yang pada hakekatnya merupakan alat terpenting untuk mewujudkan good governance justru hanya menjadi
simbol belaka, partisipasi politik yang diharapkan dalam setiap proses politik pun
hanya tinggal harapan. Yang terjadi
justru mobilisasi oleh orang-orang yang memiliki kapital dan orang-orang yang
berkolusi dengan para pemilik modal yang semakin merabunkan mata kita untuk
membedakan mana demokrasi Indonesia dan mana otoritarianisme uang .
Di sisi lain,
kita juga dapat melihat bagaimana sinergisme dan peran ketiga pilar utama good governance yang terdiri dari dari
negara, swasta, dan masyarakat sipil ini masih belum berjalan sesuai harapan.
Negara justru membawa kita semakin jauh dari cita-cita bangsa dengan kebijakan-kebijakannya
yang bersifat kolutif dan tidak berpihak kepada rakyat. Tidak berbeda dengan
sektor swasta yang terus-menerus mengeksploitasi sumber daya tanpa
mempertimbangan rasa kepatutan, keadilan serta kompensasi kesejahteraan.
Lantas dimanakah peran dari masyarakat sipil yang seharusnya
menjadi alat kontrol sosial dan pencipta demokrasi yang baik? Serta bagaimana
seharusnya masyarakat sipil menggunakan negara untuk mensejahterakan dirinya?
Bersandar dengan isu-isu tersebut essay ini juga akan membahas betapa penting
dan vitalnya akuntabilitas sosial guna membangun good governane.
Masyarakat Sipil dalam Good Governance
Terdapat tiga
kekuatan yang menentukan kesejahteraan sosial sejauh ini yaitu negara, pasar,
dan masyarakat sipil. Diantara ketiga kekuatan diatas, tak sedikit orang
menganggap masyarakat sipil lah yang paling dianggap lemah karena paling tidak
memiliki kekuasaan, kemampuan dan kesempatan secara strategis guna membentuk
tatanan sosial menurut visi dan pandangan mereka. Namun apabila kita teliti lebih
dalam lagi sebagaimana pengertian masyarakat sipil menurut Gramscian yang
menganggap masyarakat sipil sebagai alat untuk menghadapi hegemoni
ideologi negara.
Dari perspektif
yang dikemukakan oleh Gramscian, dapat dipahami bahwa sebenarnya diantara
kekuatan yang ada justru masyarakat sipillah yang memiliki kekuatan paling
besar untuk menentukan kesejahteraan sosial. Bagaimana tidak, kehadiran
masyarakat sipil dalam suatu negara merupakan suatu alat kontrol sosial dan
politik yang sewaktu-waktu dapat menjadi bumerang bagi negara itu sendiri
ketika negara tidak dapat menjalankan perannya dalam memberikan hak dan
kewenangan terhadap masyarakat. Runtuhnya orde baru di Indonesia merupakan
salah satu contoh bagaimana besarnya peran masyarakat untuk merubah sistem
negara menjadi lebih pro rakyat. Hal ini sekaligus menjadi titik awal perubahan
paradigma masyarakat Indonesia itu sendiri, dari paradigma dimana masyarakat
Indonesia yang hanya patuh dan taat terhadap birokrasi atau lebih dikenal
dengan masyarakat birokratik menjadi masyarakat sipil yang kritis dengan
fasilitas baru bernama demokrasi.
Meskipun dengan
adanya fasilitas baru bernama demokrasi ini bukan berarti serta merta
memudahkan negara mencapai kesejahteraan
sosial, harus ada sinergi yang baik antara masyarakat dengan negara. Dengan
adanya demokrasi sebagai sistem politik yang lebih berorientasi pada
masyarakat, masyarakat sangat berperan penting terhadap jalannya pemerintahan
terlebih karena sejatinya di dalam sistem ini posisi negara bukanlah penganyom,
pembina dan pengawas melainkan menjadi patron
dari masyarakat itu sendiri
karena seperti dijelaskan di awal tadi bahwa kekuatan yang dimiliki masyarakat
lebih besar dari negara atau posisi negara dapat digambarkan sebagai alat dari
masyarakat itu sendiri untuk mensejahterakan dirinya.
Dengan vitalnya
peran masyarakat ini, masyarakat juga dapat menjadi bom waktu yang siap meledak
kapan saja. Kesejahteraan sosial hanya akan terwujud apabila masyarakat dapat
menggunakan negara dengan baik dan benar, untuk itu diperlukan kekuatan yang
baik pula guna menggerakkannya. sejatinya sumber kekuatan berasal dari
kepercayaan masyarakat terhadap elit untuk menggerakkan roda pemerintahan,
tentunya kepercayaan yang dimaksud merupakan kepercayaan yang murni tanpa ada
tekanan ataupun intervensi dari pihak lain. Akan tetapi ketika kekuatan itu
berasal dari kepercayaan yang “dibeli” maka kekuatan yang timbul merupakan
kekuatan yang siap meledakkan masyarakat itu sendiri.
Atas dasar itu, negara hanya akan sejahtera apabila
masyarakat yang ada merupakan masyarakat yang kompak dan konsisten untuk meraih
tujuan bersama dan masyarakat seperti itu juga hanya akan terwujud apabila
setiap individu mau dan sadar atas perannya terhadap negara guna mensejahterakan
kehidupannya dan khalayak banyak bukan untuk dirinya saja. Rakyat yang menolak
peran negara hanya akan menghambat kesejahteraan sosial yang merata, karena
sejatinya kesejahteraan sosial yang merata hanya akan tercapai melalui negara.
Minimnya Akuntabilitas
Sosial
Turunnya
Soeharto dibarengi dengan runtuhnya orde baru memulai awal babak reformasi
birokrasi di Indonesia. Yang paling mendasar adalah berubahnya sistem politik
Indonesia dari otoriterianisme menjadi demokrasi. perubahan sistem ini lantas
merubah semua kebijakan pemerintah dari yang awalnya represif dan tertutup
menjadi lebih terbuka dan demokratis.
Namun,
Berubahnya sistem politik ini juga tidak dapat sepenuhnya dapat dikatakan
berhasil. Sisa-sisa budaya kotor peninggalan orde baru masih dapat dicium jelas
saat ini. Korupsi, kolusi dan nepotisme masih menjadi isu hangat di media-media
setiap harinya. Hal tersebut menunjukkan pula bahwa akuntabilitas sosial dan
politik masih sangat minim, masyarakat yang seharusnya menjadi partner dari
negara dan sektor swasta dalam mensejahterakan dirinya justru hanya menjadi
penonton saja. Akuntabilitas sosial yang memiliki arti proses keterlibatan yang
konstruktif antara warga negara dengan pemerintah dalam memeriksa pelaku dan
kinerja pejabat publik, politisi dan penyelenggara pemerintah pun
seolah dapat dibeli hanya dengan uang Rp 30.000, pakaian atau sembako saja.
Hal
ini jelas merupakan suatu kebodohan publik yang sangat mendasar, jika yang dipertanyakan
adalah akuntabilitas negara kepada rakyatnya tentunya rakyat dapat menuntutnya
bagaimanapun caranya. Namun apabila rakyat yang seharusnya menuntut
akuntabilitas politik tersebut justru sangat mudah untuk dimobilisasi dan
cenderung apatis dengan segala kebijakan yang diterapkan oleh negara maka
dimanakah demokrasi berada? Dan bagaimana bisa cita-cita bangsa dapat terwujud?
Pentingnya Pendidikan Politik
Tak dapat
dipungkiri, pendidikan merupakan aspek penting yang tidak terpisahkan dari
program pembangunan negara. Pembagunan suatu negara hanya akan berjalan dengan
lancar tergantung kualitas sumber daya manusia, melalui pendidikan lah sumber
daya ini dikelola untuk memiliki kemampuan dan keahlian yang dibutuhkan untuk
mensejahterakan negara.
Selain itu,
Pendidikan juga mempunyai peran untuk menegakkan kontrol sosial guna
melancarkan proses demokratisasi. oleh karena itu melalui pendidikan politik
yang menurut UU No.2 Tahun 2011, pasal 1 ayat (4) memiliki arti proses
pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap
warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diharapkan mampu
melahirkan masyarakat yang melek politik dan tidak mudah dimobolisasi oleh para
pemilik kapital dan para penguasa hanya dengan menggunakan uang, sembako atau
pakaian.
Hal ini dapat
diwujudkan antara lain dengan memperkuat pendidikan politik melalui kurikulum
pendidikan dan menyisipkannya misalnya di acara-acara rutin dalam Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
Penutup
Dengan terwujudnya
masyarakat yang melek politik, masyarakat dapat menjalankan tugas dan
kewajibannya sebagai warga negara yang baik. Semua ini tidak lepas dari
kemampuan bidang pendidikan untuk mencapai tujuannya yaitu mempersiapkan
peserta didik untuk dapat menjadi warga negara yang baik yang memiliki keahlian
dan pengetahuan yang memadai untuk berperan serta secara proaktif dalam
pembangunan.
Fungsi kontrol
serta pencipta demokrasi yang baik pun berjalan dengan optimal. Negara pun
dipaksa akuntabel dan transparan kepada masyarakat terhadap apa saja kebijakan
yang diterapkan. Selain itu, keadaan ini juga memudahkan terlahirnya pemimpin
yang berakhlak, kredibel dan kapabel yang pada akhirnya juga mewujudkan good governance atau tata kelola
pemerintahan yang baik pula.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad,
R, 2008. Governance, Social
Accountability and the Civil Society, JOAAG, (Vol. 3. Nomor 1)
Ali,
Denny Januar, 2006. Demokrasi Indonesia:
Visi dan Praktek. Sinar harapan, Jakarta
Mayo,
Peter, 2005. "In and Against the
State": Gramsci, War of Position, and Adult Education Journal for
Critical Education Policy Studies (Vol 3, Nomor 2)
Jondar,
Aloysius, 2003. Konsep-konsep Sosiologi
dan Politik. Lutfansah Mediatama, Surabaya
Labolo,
Muhammad, 2012. Memperkuat Pemerintahan
Mencegah Negara Gagal. Kubah ilmu, Jakarta
Siregar,
Ashadi, 2011. Democratic Governancedan
Hak Azasi Manusia : Makna Kebebasan Pers dalam Otonomi Daerah, Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik. (Vol.14, Nomor 3, Maret)
Ambardi,
Kuskridho, 2011. How Smart Can We Go? The
quality of Campaign Information in the 2009 Presidential Election, Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik. (Vol.14, Nomor 3, Maret)
Jahidi,
Idi, 2004. Peranan Masyarakat Sipil
Menuju Sistem Pemerintahan Negara Yang Demokratis, Tugas akhir Pasca-sarjana UNPAD.
Mayo,
Peter, 2005 "In and Against the
State": Gramsci, War of Position, and Adult Education Journal for
Critical Education Policy Studies (Vol 3, Nomor 2)